Selasa, 07 Februari 2012

Siapa Lebih Hebat?

Diterjemahkan oleh Kak Atiek dari judul asli Who Is Greater? karangan Varsha Das. Ilustrasi oleh Ashok Raj


Budhisatva terlahir sebagai seorang pangeran. Nama aslinya Brahmadattakumar. Sejak kecil ia biasa disapa Kumar.

Kumar dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang. Guru-guru terbaik didatangkan ke istana untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada Kumar. Bahkan ketika dewasa, Raja mengirimkan Kumar kuliah di sebuah universitas.

Setelah menyelesaikan kuliahnya Kumar kembali ke kampung halamannya. Saat itu Raja sudah sangat tua dan lemah. Raja kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Kumar.

Rakyat sangat gembira mendengarnya karena mereka tahu bahwa Kumar adalah orang yang jujur dan adil. Lambat laun, di kerajaan itu tidak ada lagi kejahatan. Orang-orang hidup dengan damai. Bahkan para hakim dan pengacara tidak lagi dibutuhkan. Kumar sangat senang melihat rakyatnya hidup tenteram dan damai.

Suatu hari Kumar sedang duduk sendirian di taman istana. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Kumar sedang merenung dan mencari-cari kekurangan yang ada di dirinya. Namun sekian lama Kumar merenung ia tetap tidak dapat menemukannya. Ia kemudian berdiri dan masuk ke dalam istana.

"Apa kekurangan yang ada di diri saya? Katakanlah," kata Kumar pada setiap orang yang ditemuinya. Namun tidak ada orang yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.

"Tidak ada, Yang Mulia. Anda sungguh sangat hebat!" Selalu begitu jawaban yang diperoleh Kumar.

Kumar berpikir bahwa mungkin orang-orang ini tidak mengatakan yang sebenarnya.

"Mereka takut kepadaku. Sebaiknya aku keluar istana dan berjalan-jalan. Aku akan menanyakan pendapat mereka," batik Kumar.

Kemudian Kumar pun menanggalkan pakaian kebesarannya dan menggantinya dengan pakaian rakyat jelata. Tak ada yang bisa mengenalinya.

"Bisakah Anda mengatakan apa kekurangan Raja kita?" tanya Kumar pada setiap orang yang ditemuinya di jalan.

Namun semua orang memberikan jawaban yang sama, "Tidak ada. Raja kita adalah raja yang hebat. Ia mencintai rakyatnya."

Kumar merasa tidak nyaman mendengar puji-pujian yang ditujukan kepada dirinya. Ia bertanya lebih jauh lagi.

"Pasti ada hal yang kurang baik pada diri Raja. Tidak ada orang yang sempurna, bukan. Nah, menurut Anda apa kekurangan Raja kita?"

Seorang pria mengangkat tangannya dan bersiap-siap memukul Kumar. Ia berteriak, "Berani-beraninya kamu bicara seperti itu tentang raja kami! Pergi jauh-jauh atau aku akan menghancurkan kepalamu!"

Kumar kembali ke istana dengan berat hati. Pertanyaan itu terus menghantui dirinya. Bahkan sampai terbawa tidur.

Keesokan harinya Kumar memanggil para pembantunya den mengumumkan, "Aku tidak akan bisa melaksanakan tugasku sebagai seorang raja sampai aku mengetahui apa kekurangan yang ada dalam diriku. Aku akan menyepi untuk sementara. Urusan kerajaan kuserahkan kepada kalian semua. Jagalah rakyat selagi aku pergi."

Para perdana menteri mencoba menghalangi Raja, tapi tidak berhasil. Kumar lalu menanggalkan pakaian kebesarannya. Sebagai gantinya ia mengenakan pakaian rakyat jelata. Setelah itu ia pergi ke jalan dan dengan menggunakan sebuah kereta bersama seorang pembantunya yang setia Kumar tak bosan-bosannya bertanya setiap orang yang dijumpainya. Namun selalu saja ia mendapatkan jawaban yang sama. Kumar kemudian melewati batas kerajaannya dan memasuki wilayah kerajaan lain.

Di sini hal yang aneh terjadi. Penguasa kerajaan yang bernama Kosala tersebut ternyata sangat mirip dengan Kumar. Ia juga adalah seorang yang jujur dan adil. Suatu hari ia memutuskan untuk mencari tahu pendapat rakyat tentang dirinya. Namun, sama seperti Kumar, yang ia dengar hanyalah pujian dan pujian semata. Kemudian ia pergi meninggalkan kerajaannya.

Tanpa disengaja kedua raja ini melewati jalan yang sama. Di satu titik kereta mereka bertemu. Karena jalan itu sempit maka tidak dapat dilewati oleh dua kereta secara berdampingan sekaligus.

Sekarang masalahnya, siapa yang akan mengalah dan mundur untuk memberi jalan kepada yang lain?

Kedua pengendara kereta turun dan mencari tahu siapa diantara kedua raja tersebut yang lebih hebat dan pantas mendapatkan jalan terlebih dahulu.

Kedua raja itu berusia sama. Ketika mereka memeriksa luas kerajaan pun, keduanya memiliki luas yang sama juga! Kemudian mereka mencek kekuatan angkatan bersenjata mereka. Tak disangka, keduanya pun sama kuat! Pendeknya dalam semua hal mereka sama. Lalu bagaimana caranya mencari siapa yang lebih hebat?

Kusir kereta Raja Kosala berkata, "Mari kita cari tahu siapa yang lebih hebat. Saya akan mengatakan tentang raja kami. Ia bisa bersikap keras kepada orang yang keras dan bisa bersikap lembut kepada orang yang lembut. Ia mampu menaklukkan orang yang baik dengan cara yang baik dan mampu menaklukkan orang jahat dengan cara yang jahat pula. Aku pikir, rajaku lebih hebar dari rajamu. Jadi, biarkan kami lewat dulu."

Kusir kereta Kumar berkata, "Sekarang giliranku bercerita tentang rajaku. Ia mampu menaklukkan orang yang marah dengan ketenangannya dan mampu menaklukkan orang jahat dengan kebaikannya. Ia memperlakukan para pecundang dengan kedermawanan dan memperlakukan para pembohong dengan kejujuran. Aku pikir, rajaku lebih hebat. Jadi tolong, berikan jalan untuk kami lewat."

Ketika Raja Kosala mendengar hal ini cepat-cepat ia turun dari keretanya. Ia menemui Raja Kumar dan memberikan salam hormatnya. Sesungguhnyalah, orang yang bisa menaklukkan kejahatan dengan kebaikan adalah orang yang lebih hebat. Akhirnya, Raja Kumar dipersilakan melewati jalan itu terlebih dahulu. (*)

Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2005


Puteri Salju

Diterjemahkan oleh Atiek Kusmiadi dari Little Snow White, Grimm's Fairy Tales oleh LL Weedon


Suatu hari di jaman dahulu kala, seorang ratu yang cantik sedang duduk di dekat jendela kamarnya sambil merajut. Saat itu sedang musim dingin. Salju berjatuhan dan membuat suasana menjadi amat dingin.

Sesekali Ratu melihat ke luar jendela. Suatu ketika, saat sedang melempar pandangan ke luar, jarum rajut melukai tangannya. Tiga tetes darah menetes di atas salju. Hmm...warna merah darah itu terlihat sangat kontras dan indah di atas putihnya salju.

Melihat itu, Ratu bergumam, "Ah, seandainya aku memiliki seorang anak yang putih seperti salju."

Tidak terlalu lama setelah peristiwa itu, Ratu dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat cantik. Anak ini diberi nama "Puteri Salju".

Namun malangnya, sebelum Puteri Salju beranjak remaja Ratu sudah terlebih dahulu dipanggil menghadap Yang Kuasa. Sepeninggal sang Ratu, Raja lalu menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik namun sombong dan iri dengki. Wanita ini memiliki sebuah cermin yang dapat menjawab setiap pertanyaan.

"Wahai cermin di dinding, siapakah orang yang paling cantik di dunia?"

"Tentu saja Yang Mulia adalah orang yang paling cantik," jawab cermin.

Namun seiring berjalannya waktu, Puteri Salju terus tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang sangat cantik. Ketika usianya mencapai tujuh tahun, kecantikan luar biasa sudah terpancar pada diri sang puteri.

"Wahai, cermin di dinding. Siapakah orang paling cantik di dunia?" tanya Ratu, ibu tiri Puteri Salju.

"Oh, ratuku. Yang Mulia memang cantik, namun di masa mendatang Puteri Salju akan jauh lebih cantik," jawab cermin yang selalu berkata jujur.

Ratu merasa sangat khawatir. Sejak saat itu rasa iri dan benci mulai tumbuh subur di hatinya. Suatu hari Ratu memanggil seorang pemburu dan menyuruhnya membawa Puteri Salju ke dalam hutan dan membunuhnya.

"Saat kamu kembali, bawa serta jantungnya sebagai bukti kau telah menjalankan perintahku!" titah sang Ratu.

Pemburu lalu membawa Puteri Salju ke hutan. Tapi ia tidak tega membunuh Puteri Salju. Pemburu menyuruh sang Puteri untuk lari. Sebagai ganti jantung Puteri Salju, pemburu lalu membunuh seekor babi hutan dan membawanya ke istana.

Puteri Salju yang malang sekarang sendirian di tengah hutan. Ia begitu ketakutan. Ia lalu berlari dan terus berlari sampai akhirnya ia melihat sebuah rumah mungil.

Puteri Salju memasuki rumah itu. Anehnya, benda-benda yang ia lihat di dalam rumah tersebut semuanya berukuran kecil. Di atas meja tertata tujuh piring kecil berisi makanan.

Karena lapar, Puteri Salju lalu mengambil sedikit makanan dari tiap piring dan memakannya. Sesudah makan ia lalu tidur di atas salah satu dari tujuh ranjang kecil yang ada di rumah itu.

Ketika malam menjelang, para penghuni rumah mungil tersebut pulang. Merekah adalah tujuh liliput yang bekerja sebagai pencari emas di gunung-gunung.

Para lilipu itu menyalakan tujuh lilin kecil dan segera menyadari bahwa mereka sudah kedatangan tamu tak diundang.

Salah seorang liliput melihat Puteri Salju yang sedang tertidur di ranjangnya. Liliput itu segera memanggil teman-temannya. Para liliput terkejut tak alang kepalang. Namun ketika mereka memandang wajah Puteri Salju yang cantik mereka merasa sangat senang. Para liliput membiarkan Puteri Salju tidur di ranjang mereka.

Keesokan harinya matahari bersinar cerah. Puteri Salju terbangun dari tidurnya. Tapi betapa terkejutnya dia ketika melihat ada tujuh liliput di dekatnya. Namun karena para liliput itu sangat ramah, mereka pun akhirnya bersahabat erat.

Sementara itu di istana Ratu merasa sangat senang karena kini tak ada lagi yang akan menandingi kecantikannya.

"Wahai cermin di dinding, siapakah kini orang yang paling cantik?"

"Wahai Ratu, Puteri Salju lebih cantik. Nun jauh di dekat bukit, ia sedang bermain-main dengan tujuh liliput," jawab cermin.

Betapa marahnya sang Ratu menyadari bahwa sang pemburu sudah membohonginya. Ia lalu menyamar dan pergi menuju tempat dimana Puteri Salju dan para liliput berada.

Tanpa prasangka buruk, Puteri Salju menemui Ratu yang menyamar sebagai pedagang. Ketika Puteri Salju berdiri di hadapannya, Ratu cepat-cepat mengikat leher Puteri Salju dengan tali hingga tidak bisa bernapas. Puteri Salju pun teratuh ke tanah.

Betapa terkejutnya para liliput mendapati Puteri Salju terbaring di tanah. Setelah ditolong, Puteri Salju baru bisa bernapas kembali.

Ketika mengetahui usahanya gagal, Ratu sangat marah dan kembali ke hutan dengan membawa sisir beracun.

Kali ini Puteri Salju masih bisa diperdaya. Saat sisir itu menyentuh rambutnya, Puteri Salju pingsan.

Tak lama kemudian para liliput pulang dari bekerja. Mereka menemukan Puteri Salju terbaring di tanah. Mereka lalu melihat sisir beracun itu dan membuangnya.

Sementara di istana Ratu kembali marah besar begitu cermin ajaib memberitahunya bahwa Puteri Salju belum mati. Setelah membuat sebuah apel beracun, Ratu lalu berangkat kembali menemui Puteri Salju.

Ratu yang menyamar lalu membujuk Puteri Salju untuk memakan apel pemberiannya. Ratu mencoba meyakinkan Puteri Salju dengan membelah apel menjadi dua bagian. Satu bagian diberikan kepada Puteri Salju sedangkan satu bagian lagi dimakannya. Puteri Salju tidak tahu bahwa bagian apel yang dimakan oleh Ratu adalah bagian yang tidak beracun.

Puteri Salju pun terbujuk. Namun malang, setelah memakan apel bagiannya Puteri Salju jatuh ke tanah dan mati. Sambil tertawa-tawa Ratu kembali ke istana.

Para liliput yang mendapati Puteri Salju sudah meninggal tidak dapat menahan kesedihannya. Mereka lalu memasukkan tubuh PUteri Salju ke dalam peti mati dari kaca dan meletakkannya di atas gunung. Bergantian mereka menjaganya setiap hari.

Tahun demi tahun berlalu. Suatu hari, seorang putera raja memasuki hutan. Karena kemalaman pangeran itu bermaksud menginap di rumah para liliput. Tapi disana ia melihat ada sebuah peti mati di atas gunung. Setelah melihat Puteri Salju, Pangeran lalu meminta ijin kepada para liliput untuk membawa peti mati itu pulang.

Ketujuh liliput kemudian memberikan peti mati itu kepadanya. Putera mahkota lalu membawa peti mati itu menuju istana.

Di tengah perjalanan, para pelayan yang membawa peti mati Puteri Salju tersandung sesuatu. Peti mati terguncang-guncang. Para pelayan hampir jatuh.

Guncangan peti mati ternyata menyebabkan potongan racun yang berada di tenggorokan Puteri Salju keluar. Puteri Salju membuka matanya dan membuka pintu peti jenazah. Puteri Salju hidup kembali!

Melihat hal ini Pangeran sangat gembira. Ia lalu menceritakan apa yang sudah terjadi kepada Puteri Salju. Pangeran memohon kepada Puteri Salju agar mau menjadi permaisurinya.

Pesta pernikahan pun digelar di istana. Ibu tiri Puteri Salju yang kejam itu turut diundang.

Dengan mengenakan pakaian terbaik, Ratu bersiap-siap menghadiri undangan pernikahan tersebut.

"Wahai Cermin Ajaib, siapa yang paling cantik?" ia bertanya.

" Oh, Ratuku. Yang Mulia memang cantik, tapi puteri yang akan menikah ini jauh lebih cantik," jawab Cermin Ajaib.

Ratu jadi penasaran. Saat memasuki tempat pernikahan, betapa terkejutnya Ratu melihat Puteri Salju sedang bersanding dengan Pangeran. Ratu sangat ketakutan.

Kemudian sepasang sepatu besi yang sangat panas dibawa memasuki ruangan. Ratu dipaksa menari dengan memakai sepatu tersebut. Begitulah, akhirnya Ratu yang kejam itu pun mati karena kekejamannya. (*)


Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2005

Gadis Kecil Bernama Pikola

Diterjemahkan oleh Atiek Kusmiadi dari judul asli The Little Piccola oleh Celia Thaxter


Jaman dahulu kala di suatu tempat hiduplah seorang gadis kecil bernama Pikola. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Ibunya sangat miskin dan harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi mereka.

Pikola sama sekali tidak memiliki boneka dan mainan. Ia sangat sering kelaparan dan kedinginan, tapi ia tidak pernah merasa sedih dan kesepian.

Setiap kali musim dingin tiba, Pikola tinggal di rumah membantu ibunya sambil merajut kaus kaki-kaus kaki panjang berwarna biru.

Suatu hari ibu Pikola sakit dan tidak bisa lagi mencari uang. Pikola harus bekerja keras sepanjang hari menggantikan ibunya.

Untuk menambah penghasilan Pikola juga menjual semua kaus kaki yang ia rajut. Tak ada yang tersisa bahkan untuk dirinya sendiri sekalipun. Bahkan Pikola membiarkan kaki-kaki kecilnya telanjang dan kedinginan.

Hari natal sudah semakin dekat. Pikola berkata pada ibunya, "Kira-kira apa ya yang akan diberikan Santa Klaus kepadaku tahun ini. Aku tidak punya kaus kaki untuk digantung di perapian tapi aku akan meletakkan sepatu kayu milikku di sana untuknya. Aku yakin Santa Klaus tidak akan melupakanku."

"Jangan berharap banyak pada natal tahun ini, anakku," jawab ibunya. "Kita sudah harus bersyukur bila ada roti yang bisa dimakan."

Tapi Pikola tidak percaya bahwa Santa Klaus akan melupakannya. Pada malam natal ia meletakkan sepatu kayu miliknya di depan perapian. Ketika ibu Pikola melihat sepatu kayu itu ia membayangkan betapa akan sedihnya Pikola bila esok hari ia melihat sepatu itu kosong.

"Ah, seandainya aku memiliki sesuatu sebagai hadiah natal untuk anakku. Walaupun itu hanya sepotong kecil kue natal," bisik hati ibu Pikola. Tapi di rumah itu sama sekali tidak ada apa-apa.

Ketika pagi menjelang Pikola segera bangun dan langsung berlari menjumpai sepatu kayunya. Pikola melihat seekor burung layang-layang terbaring di dalam sepatu kayu miliknya. Burung kecil itu memandang Pikola dengan dua matanya yang bersinar dan bercicit-cicit manja ketika Pikola menyentuh bulu-bulunya yang halus.

Rupanya burung kecil yang kedinginan dan kelaparan itu telah terbang di atas cerobong asap dan memasuki perapian lalu merangkak ke dalam sepatu kayu untuk menghangatkan tubuhnya.

Pikola menari-nari gembira dan mendekap erat-erat burung yang menggigil kedinginan itu. Pikola berlari menghampiri tempat tidur ibunya.

"Lihat, Bu!" teriaknya. "Hadiah natal, hadiah natal dari Santa Klaus untukku!" Pikola terus menari dengan kaki-kakinya yang telanjang.

Pikola memberi makan si burung kecil. Sepanjang musim dingin itu ia merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Ketika akhirnya musim semi tiba Pikola membuka jendela dan membiarkan burung kecil terbang jauh.

Namun sejak itu setiap pagi burung itu selalu datang menemui Pikola untuk menyanyikan lagu-lagu yang paling indah. (*)


Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2004


Wak Tejo

Wak Tejo tepekur di bangku kayu depan rumahnya. Pikirannya berkelana ke masa-masa yang telah dilalui. Sebentar ingatannya hinggap pada cerita masa mudanya, dimana dulu bersama isteri tercinta ia berjuang keras menaklukkan nasib. Sebentar kemudian ia menekuri kehidupan yang kini ia jalani. Kehidupan yang dulu sama sekali tidak pernah ia bayangkan.

Di usianya yang sudah kepala enam Wak Tejo masih harus berkutat dengan berbagai permasalahan hidup yang pelik. Anak-anak yang diharapkan mampu menjadi pelindung di masa tua ternyata justru telah menggerogoti nyawanya.

Dari kedua anaknya hanya si bungsu yang memiliki perhatian lebih padanya. Namun ia tidak dapat berharap banyak karena sejak menantunya meninggal kini anak bungsunya itu harus sendirian saja menanggung beban keluarga. Tentu bukan beban yang ringan bagi seorang janda untuk menghidupi empat anak-anaknya. Wak Tejo tidak mau menambah berat beban anaknya itu dengan persoalan hidup miliknya. Tidak, ia lebih suka menikmati persoalan demi persoalan itu sendiri.

Wak Tejo memilih untuk tetap tinggal di rumahnya bersama anak tertua, menantu dan cucu-cucunya. Walau kadang ia merasa terasing di rumahnya sendiri namun Wak Tejo tetap bertahan.

"Ah, seandainya kamu belum meninggal Sum. Tentu tidak seperti ini hidupku," Wak Tejo membatin.

Tapi apa mau dikata, Sumi isterinya tercinta, telah dipanggil Yang Kuasa sejak bertahun-tahun yang lalu. Tinggallah kini Wak Tejo sendirian menapaki hari demi hari yang sarat dengan beban dan persoalan.

Ketika dulu Ndari anak sulungnya bermaksud menikah dengan Danang, Wak Tejo sebetulnya tidak setuju.

"Danang itu bajingan, Nduk. Semua orang kampung juga tahu itu!" nasehat Wak Tejo kepada Ndari. Tapi anaknya itu tetap ngotot.

"Pokoknya aku mau nikah sama Danang. Kalau ndak boleh aku akan pergi dari rumah ini," ancam Ndari.

Wak Tejo tidak mau anak perempuannya minggat dari rumah. Karena itu dengan berat hati ia restui anaknya menikah dengan bajingan itu.

***

Di satu sisi Wak Tejo agak terhibur melihat anak perempuannya itu tampak bahagia. Tapi di sisi lain ia melihat betapa Danang, sang menantu, tidak bisa diharapkan menjadi suami yang baik.

Setelah beberapa tahun Wak Tejo mulai mencium adanya ketidakharmonisan dalam keluarga Ndari dan Danang. Suami isteri itu kerap bertengkar. Walaupun Ndari selalu menyembunyikan persoalan rumah tangganya namun naluri Wak Tejo sebagai orang tua tidak dapat dibohongi. Tapi Wak Tejo tahu ia tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga anaknya.

Semakin hari Danang semakin menancapkan cengkeramannya di rumah.

Kebiasaannya berjudi telah membuat harta Wak Tejo terkuras satu demi satu. Padahal untuk memperoleh semuanya itu Wak Tejo bersama almarhum isterinya dulu harus jungkir balik membanting tulang.

Mulanya Wak Tejo diam saja walaupun ia tahu sepeda motor, tape recorder, televisi dan beberapa barang lain di rumahnya raib satu per satu. Ia tahu persis bahwa barang-barang itu telah dijual oleh menantunya untuk menutupi hutang judi yang kian hari kian membengkak.

"Ah, ndak kok Pak. Barang-barang itu dijual oleh Mas Danang untuk modal usaha. Bapak tahu sendiri kan kalau Mas Danang itu tidak punya pekerjaan tetap. Karena itu ia menjual barang-barang itu untuk modal usaha," kata Ndari ketika Wak Tejo berbicara kepadanya.

Wak Tejo lalu menyadari bahwa Ndari sangat mencintai Danang. Bahkan cinta itu telah membutakan Ndari akan kelakuan bajingan itu. Kadang-kadang Wak Tejo berpikir bahwa Danang telah mengguna-gunai anaknya sehingga menjadi seperti itu.

Tapi Wak Tejo tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak mau menodai kebahagiaan anaknya. Karena itu ia diam saja.

Tapi rupanya makin hari tingkah Danang semakin di luar kontrol. Sawah dan ladang milik Wak Tejo yang rencananya akan dibagi-bagikan sebagai warisan telah dirampas oleh Danang. Tanpa sepengetahuan Wak Tejo dan entah bagaimana caranya Danang telah menggadaikan sawah-sawah itu.

Wak Tejo meradang. Ia marah besar.

Tapi kemarahan Wak Tejo bagaikan api yang menyulut bensin. Kemarahan Wak Tejo dibalas dengan amarah yang lebih buas oleh Danang. Bahkan kalau tidak ada tetangga yang melerai mungkin Wak Tejo sudah tewas di tangan Danang.

Wak Tejo diajak menyingkir oleh para tetangga. Wak Tejo ingin berontak tapi orang-orang itu terlalu erat memeganginya. Nafas Wak Tejo terengah menahan amarah.

Sementara Ndari bersimpuh di pojokan sembari sesenggukan.

***

Besoknya tangis Ndari pecah karena ternyata sang suami tercinta nekat meninggalkan rumah. Meninggalkan dirinya dan kedua anak mereka. Ndari berusaha menahan tapi Danang tetap bergeming.

"Bapakmu sudah menghinaku. Aku tidak sudi lagi hidup di rumah ini. Aku akan pergi dan kamu tidak perlu mencariku!" kata Danang menyibak tangan Ndari yang mencengkeram kuat-kuat bajunya.

Danang melangkah dengan membawa amarah. Segala caci maki keluar dari mulutnya. Ndari berteriak memanggilnya untuk kembali. Tapi cinta dan air mata Ndari tidak cukup kuat untuk menarik Danang agar kembali.

"Jangan pergi, Mas. Ingat anak-anak...," ratap Ndari. Tapi Danang tak peduli.

Sementara itu dari jendela kamar sepasang mata tua milik Wak Tejo menerawang memandangi langit. Hatinya tercekik mendengar ratapan Ndari, anak yang amat dikasihinya.

***

Sejak kepergian suaminya Ndari lebih banyak menutup diri. Untuk menghidupi anak-anaknya Ndari membuka warung kecil-kecilan di depan rumah.

Pagi-pagi sekali Ndari berjualan kue di pasar. Setelah dari pasar baru ia pulang untuk membuka warung di rumah. Dengan cara inilah Ndari melanjutkan hidup. Bagaimanapun Wak Tejo sudah terlalu tua untuk bekerja dan mau tidak mau Ndari harus memainkan peranan sebagai punggung keluarga.

Sebelum sawah miliknya digadaikan oleh Danang sebetulnya Wak Tejo masih memiliki penghasilan. Walau tidak banyak sawah itu masih memberikan pendapatan dari sistem bagi hasil yang ia terapkan kepada para petani yang mengelolanya. Tapi kini Wak Tejo sama sekali tidak punya sumber penghasilan yang bisa diharapkan.

Wak Tejo merasa tidak enak hati menggantungkan hidupnya pada Ndari. Ia kasihan pada Ndari. Wak Tejo merasa dia lah yang menjadi penyebab runtuhnya rumah tangga anaknya itu. Tapi Wak Tejo tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik.

Karena itu ketika suatu hari tiba-tiba Danang kembali muncul Wak Tejo tidak bereaksi. Sepanjang Ndari dan cucu-cucunya tidak keberatan menerima kembali kehadiran bajingan itu maka Wak Tejo akan diam saja. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama kepada Ndari.

"Maafkan saya, Pak. Tolong berikan saya kesempatan sekali lagi," kata Danang berusaha menyakinkan Wak Tejo.

Wak Tejo diam dan membiarkan Danang mencium tangannya.

***

Kepulangan Danang ternyata tidak merubah banyak hal. Danang yang sekarang masih tetap sama dengan Danang yang dulu. Tidak ada yang berbeda selain kelicikannya yang semakin menjadi.

Wak Tejo dapat merasakan itu. Pengalamannya menjalani hidup telah mengajarkan kepadanya bahwa tidak ada bajingan yang bisa dipercaya. Apalagi Danang.

Sejak Danang kembali hati Wak Tejo tidak pernah lagi merasakan kedamaian. Waktu pun semakin ganas menggerogoti kerentaannya. Kian hari Wak Tejo merasa semakin lemah dan semakin cepat menjadi tua.

Jiwa Wak Tejo bagai terbelenggu. Ingin ia berontak dan melepaskan diri. Tapi ia takut belenggu itu akan berbalik menyakiti anak dan cucu-cucunya.

Jadi ia biarkan saja belenggu itu semakin erat mencengkeramnya. Kadang ia merasa dadanya sangat sesak dan tidak mampu lagi bernafas. Tapi Wak Tejo tahu ia harus bertahan. Ia tidak boleh mati atau bajingan itu akan menari-nari di atas mayatnya.

Tapi perkiraan Wak Tejo salah.

"Jadi kami beri waktu seminggu bagi Bapak dan keluarga untuk pindah," kata seorang petugas bank bernama Sujono di ruang tamu rumahnya sore itu.

Wak Tejo bagai disambar petir ketika petugas itu menjelaskan bahwa rumah yang selama ini ditempatinya ternyata harus disita oleh bank. Danang telah menggunakan sertifikat tanah dan rumah untuk meminjam uang di bank dan Wak Tejo tak pernah tahu. Wak Tejo juga tidak pernah tahu kalau tabungannya di bank juga sudah terkuras habis oleh bajingan yang tinggal bersamanya itu.

Ternyata untuk menari di atas mayatnya Danang merasa tidak perlu menunggunya mati terlebih dulu. Penjudi itu telah menghisap habis darahnya. Tak ada yang tersisa.

Wak Tejo hanya menatap hampa pada langit yang membentang luas sore itu. Beberapa awan bergerak melintasinya. Mendung menggantung dan kemudian hujan seperti tertumpah dari langit.

Wak Tejo kedinginan. Dirapatkannya sarung yang sedari tadi melilit di tubuhnya.

"Masuk Mbah, hujan tuh!" teriak Nining, salah seorang cucunya.

Wak Tejo beranjak dari kursi kayu tempatnya sedari tadi duduk tepekur. Langkahnya gontai memasuki rumahnya. Ah, bukan....rumah itu bukan lagi miliknya. Besok ia harus pergi meninggalkan rumah itu walaupun sampai detik ini Wak Tejo masih tidak tahu kemana mereka harus pergi.

Sementara Danang, bajingan yang selama ini ia pelihara, entah kini berada dimana. (*)



Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2004

























Mbah Urip

Wajah keriput Mbah Urip terlihat sangat terpukul. Matanya berkaca-kaca. Mbah Urip berusaha keras menahan agar genangan air bening di matanya itu tidak jatuh. Tapi agaknya itu sia-sia. Berita yang baru saja didengarnya terlalu menyodok hati renta miliknya. Sebutir air bening bergulir jatuh di sudut matanya yang dipenuhi kerut-kerut ketuaan.

"Maaf, Mbah. Saya tidak bermaksud membuat Mbah bersedih. Tapi begitulah kenyataannya," meskipun pelan suara Nanang telah mengejutkan Mbah Urip. Menyadarkannya dari lamunan singkat tentang anak semata wayangnya, Inah.

Hati kecilnya memberontak, berusaha memungkiri berita yang dibawa Nanang. Bagi Mbah Urip berita itu terlalu musykil. Inah melacurkan diri? Tidak mungkin! Aku kenal anakku. Inah tidak mungkin senekad itu! Nurani Mbah Urip menjerit. Pedih.

"Tidak mungkin, Nang. Lha wong waktu di sini Inah itu ngajinya rajin, sholatnya rajin, kok!" kata Mbah Urip berusaha mengelak.

"Mbah...Mbah, itu kan dulu! Namanya juga hidup di kota besar, kadang-kadang keadaan membuat kita terpaksa memakan dosa, Mbah!" kata Nanang kepada Mbah Urip.

"Ah, sudahlah Mbah. Yang penting saya sudah memberitahu Mbah Urip. Percaya syukur, nggak percaya juga tidak apa-apa. Saya permisi dulu ya Mbah?" Mbah Urip hanya menyahut pelan ketika Nanang mengucapkan salam.

Sepeninggal Nanang ruang tamu itu kembali sepi. Angin sore berhembus pelan melalui kisi-kisi jendela yang baru dicat ulang. Mbah Urip memandang sekeliling.

Rumah tua peninggalan suaminya memang kini sudah berganti tembok permanen. Alat-alat rumah tangga pun banyak yang sudah diganti. Termasuk sofa empuk yang kini sedang didudukinya.

Semua perubahan ini adalah karena uang Inah. Sudah empat tahun anaknya itu pergi mengadu nasib ke kota. Selama kepergiannya itu Inah memang belum pernah pulang kampung menjengukya. Tapi Inah rajin mengirim surat kepadanya, menceritakan tentang kehidupannya di kota.

Mbah Urip tidak bisa membaca. Nananglah yang selama ini rajin membacakan surat-surat Inah untuknya.

Dalam salah satu suratnya Inah bercerita kalau kini hidupnya enak. Ia bekerja sebagai pembantu pada sebuah keluarga kaya yang sangat baik. Gajinya pun besar.

Tidak heran kalau Inah rajin mengirim uang ke kampung. Inah juga menyuruhnya merenovasi rumah tua peninggalan suaminya yang hampir roboh. Tidak hanya itu, Inah pun rajin mengirimkan kain batik panjang yang bagus-bagus untuknya.

Sebagai orangtua, Mbah Urip menerima semua itu dengan rasa syukur. Namun kebahagiaannya bukan karena selalu dikirimi kain bagus dan dibuatkan rumah beton oleh anaknya. Bukan.

Kebahagiaannya lebih karena Inah, anaknya semata wayang, telah mampu hidup mandiri. Dan itu membuatnya tenang. Paling tidak, kalaupun ia mati ia tidak akan meninggalkan beban seorang anak yang harus dihidupi oleh sanak familinya yang lain. Ia jadi merasa siap kalau sewaktu-waktu Tuhan mengirimkan malaikat untuk menjemput ajalnya.

Tapi kini Mbah Urip seperti terlempar pada titik nol. Kenyataan bahwa anaknya memilih pekerjaan sebagai pemuas nafsu laki-laki telah mengharu biru perasaannya sebagai seorang ibu.

Mbah Urip merana.

*********


Matahari sepenggalah baru saja naik ketika tiba-tiba Mbah Urip dikejutkan oleh teriakan anak-anak kecil di luar rumah.

"Horee...dapet duit....dapet duit!" anak-anak itu meloncat-loncat gembira. "Mbak baiiiiikk, deh! Ayo, Mbak minta lagi dong!"

Mbah Urip mengintip dari jendela. Seorang perempuan muda dilihatnya sedang dikerubuti anak-anak yang berloncat-loncatan senang. Setiap anak memegang selembar uang kertas.

Tiba-tiba Mbah Urip merasa jantungnya berdetak lebih keras. Terlebih lagi ketika perempuan muda itu melangkah mendekati pintu rumahnya. Mbah Urip seperti mengenal perempuan itu. Tapi siapa dan dimana?

"Assalamualaikuuum," perempuan muda itu mengetuk pintu.

Ragu-ragu Mbah Urip mengulurkan tangannya menarik pegangan pintu. Pintu terbuka lebar. Perempuan muda itu kini berdiri tepat di depannya. Cantik.

Tiba-tiba perempuan itu menarik tangan Mbah Urip dan menciumnya.

"Apa kabar, Mak? Emak sehat kan?" tanya perempuan muda itu tanpa jeda. Mbah Urip tidak menjawab. Hanya tatapannya yang mengatakan bahwa ia sedang bingung.

Pikiran Mbah Urip belum mampu mencerna apa yang sedang terjadi ketika perempuan muda itu akhirnya memberitahu siapa dirinya.

"Masak Emak lupa sama anak sendiri, sih? Ini aku, Mak. Inah!" perempuan muda itu setengah berteriak karena senang. Sepanjang perjalanan tadi ia memang sudah membayangkan pertemuan dengan emaknya yang tercinta. Ia membayangkan emaknya akan segera memeluknya dan menumpahkan semua kerinduan.

Jemari Mbah Urip sekonyong-konyong menegang. Inah? Ini Inah? Tidak mungkin...Inah anakku tidak cantik seperti ini. Inah juga tidak mungkin berpakaian serba terbuka seperti ini. Inah anakku adalah orang yang lugu dan mengagungkan kesederhanaan. Sesuatu yang selama ini selalu kuajarkan padanya.

"Tidak!....Kamu bukan Inah. Kamu pelacur! Kamu pelacur! Pergi....Pergi!" Mbah Urip merasa hancur ketika menyadari omongan Nanang tempo hari ternyata benar. Inah yang lugu telah berubah sosok menjadi setan.

"Tapi...tapi....," Inah tak mampu berucap. Kejadian seperti ini sungguh-sungguh di luar dugaannya.

"Kumohon, pergilah....Aku tidak sanggup melihatmu. Aku tidak mau punya anak seorang pelacur, tidak mau.....Tidak mau...."

Air mata mengalir deras di pipi Mbah Urip.

"Tapi Mak....Inah...Inah terpaksa melakukannya. Inah melakukan semua itu untuk Emak. Inah tidak ingin Emak terus miskin dan menderita seumur hidup Emak. Inah ingin membahagiakan Emak....Hanya itu keinginan hidup Inah, Mak. Inah minta ampun!" Butir-butir kesedihan menetes deras di wajah mulus Inah. Dipeluknya erat-erat kaki Mbah Urip yang berdiri mematung di depannya. Inah akan bersujud kalau itu mampu membuka pintu ampunan emaknya tercinta.

"Dengar Inah, Emak lebih suka miskin daripada harus memakan kehormatan anak Emak sendiri! Untuk apa semua harta ini kalau kau membeli semua itu dengan dosa? Ambil kembali semua yang pernah kau berikan kepada Emak, lalu cepat pergi dari sini!" Mbah Urip tidak memperdulikan pelukan erat Inah di kakinya. Ia melangkah gontai menuju bangku panjang di teras. Di situ ia duduk sambil sesenggukan. Hati tuanya terluka.

Inah berdiri dan mendekati Mbah Urip. Ia bersimpuh di kaki orangtua yang telah melahirkannya itu.

"Inah minta ampun, Mak. Inah memang salah. Inah penuh dosa. Tak pantas Inah datang ke sini menemui Emak. Inah hanya memberi malu kepada Emak. Maafkan Inah, Mak. Tapi Emak harus tahu, bahwa Inah mencintai Emak lebih dari apapun di dunia ini."

Setelah mencium tangan Mbah Urip, Inah melangkah pergi.

Mbah Urip menatap kepergian anak kesayangannya itu dengan sejuta rasa yang tercampur baur. Namun yang paling terasa adalah perasaan luka yang dalam menganga.


*********


"Mbah! Mbah Urip!" Seseorang berteriak-teriak dari depan rumah.

Teko berisi air panas yang ada dalam genggaman Mbah Urip hampir jatuh karena terkejut mendengar teriakan tersebut.

Cepat-cepat Mbah Urip membuka pintu depan.

"Kamu toh, Nang. Bikin kaget saja! Ada apa?" tanya Mbah Urip.

Sebagai jawabannya Nanang mengajak Mbah Urip masuk dan menyuruhnya duduk. Nanang mengeluarkan selembar koran dari balik bajunya. Hati-hati ia membuka koran tersebut dan menunjukkannya kepada Mbah Urip.

"Inah, Mbah....," kalimat Nanang yang tak selesai mengundang kecurigaan Mbah Urip. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh, toh Mbah Urip juga sudah tidak peduli apapun yang terjadi dengan anaknya itu. Dengan sikap apatis Mbah Urip menunggu Nanang menyelesaikan kalimatnya.

"Inah.....mati, Mbah." Tak sanggup rasanya Nanang mengucapkan kalimat itu.

"Apa? Yang betul kamu kalau ngomong, Nang!" Mbah Urip tidak senang Nanang bercanda soal kematian.

"Betul, Mbah. Nih lihat gambarnya di koran. Inah mati bunuh diri semalam di kamar kosnya," pelan-pelan Nanang menyodorkan gambar Inah yang terpampang di koran.

Matanya nanar melihat gambar anaknya di halaman pertama koran tersebut. Terpampang jelas di situ Inah mati gantung diri. Bajunya yang berwarna putih panjang menjuntai-juntai ke lantai.

"Baju itu....baju itu...," Mbah Urip mendesis. Matanya basah.

Mbah Urip ingat dialah yang dulu menjahitkan baju itu untuk Inah. Dulu baju itu menjadi kesayangan Inah. Kemanapun ia pergi selalu ia mengenakan baju buatan Mbah Urip itu dengan penuh rasa bangga. Dengan baju itu pula Inah pamitan kepada Mbah Urip hendak pergi mengadu nasib ke kota. Dulu... suatu hari di bulan Januari empat tahun lalu..... (*)


Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2004










Hari Minggu di Museum

Karin gembira sekali. Hari ini ia dan teman-temannya di TK Bermain akan mengunjungi museum bersama ibu guru. Pagi-pagi Karin sudah siap, tinggal menunggu Mama yang katanya akan mengantar ke sekolah.

"Oke, sayang...Mama sudah siap," kata Mama mengejutkan Karin yang sedang asyik nonton film Paman Maggoo.

Karin melompat dari kursi dan menggandeng tangan Mama.

"Oke, let's go!" Karin menirukan bahasa Inggris yang sering diucapkan Mama kalau akan bepergian.

Tiba di sekolah, teman-teman Karin sudah berkumpul di dekat bis yang akan membawa mereka pergi. Karin segera bergabung.

Tak lama kemudian bis mulai berjalan. Sambil bertepuk tangan Karin dan teman-temannya bernyanyi-nyanyi gembira.

"Di sini senang di sana senang

dimana-mana hatiku senang...hore!"

Tanpa terasa akhirnya Karin dan rombongan tiba di museum. Dengan tertib mereka masuk ke dalam museum.

Museum itu besar sekali, tapi gelap dan sepi. Benda-benda yang dipamerkan pun tidak banyak. Berbeda sekali dengan museum yang pernah dikunjungi Karin dan mamanya di Jakarta.

Karin tidak senang berada di dalam museum itu. Ia ingin cepat-cepat keluar saja.

"Bu Guru, kita keluar saja yo! Di sini gelap...nggak enak!" Karin berusaha membujuk ibu gurunya.

Tapi ibu guru tidak mau. Karin tidak putus asa.

"Bu Guru, kita ke museum yang di Jakarta saja. Di sana nggak gelap, rame lagi!"

Tapi ibu guru tetap tidak mau. Karin tidak bisa memaksa. Sambil cemberut Karin harus mengikuti rombongan sekolahnya berkeliling museum. Hari Minggu itu ternyata tidak seindah yang dibayangkannya. (*)



Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2004

Gadis Kecil Yang Menginginkan Sebuah Bintang

Diterjemahkan oleh Atiek Kusmiadi dari cerita asli The Girl Who Wish for a Star karangan Sarah Goldish

Pada suatu waktu hiduplah seorang gadis kecil yang sangat senang memandangi bintang. Setiap malam ia duduk di tempat tidurnya dan memandang ke luar jendela ke arah ribuan bintang yang bersinar menyelimuti langit.

Suatu malam gadis kecil ini mengungkapkan harapannya. Inilah yang ia katakan, "Oh, bintang-bintang itu berkelap-kelip dan bersinar-sinar. Andai saja salah satu bintang itu bisa menjadi milikku!"

Tidak berapa lama setelah gadis kecil ini mengucapkan keinginannya, seekor burung kecil berwarna abu-abu mendarat di jendela.

"Halo," kata burung itu. "Mengapa engkau bersedih?"

"Oh, Burung," jawab gadis itu. "Betapa beruntungnya dirimu. Kau bisa terbang sampai ke bintang-bintang. Aku ingin sekali mengambil sebuah bintang untuk diriku sendiri. Tapi aku tidak bisa terbang."

"Engkau mungkin memang tidak bisa terbang," kata Si Burung. "Tapi kau masih bisa mendapatkan keinginanmu itu."

"Begitukah?" tanya gadis itu. "Tapi bagaimana caranya?"

"Ikuti saja aku," kata Si Burung. "Aku akan membimbingmu ke suatu tempat. Kau harus berjalan dan mengikuti kemana aku terbang."

Gadis kecil cepat-cepat berganti pakaian dan pergi ke luar rumah. Burung abu-abu mulai terbang diikuti oleh Si Gadis Kecil. Tidak lama kemudian mereka sampai ke sebuah jalan yang panjang.

"Aku hanya bisa mengantarkanmu sampai di sini," kata Si Burung. Ia kemudian terbang meninggalkan Si Gadis Kecil sendirian. Untuk beberapa lama suasana sangat sunyi. Kemudian Si Gadis Kecil melihat kuda yang berwarna bu-abu keperakan berdiri di dekatnya.

"Selamat malam," kata kuda itu. "Bagaimana kabarmu di malam yang cerah berbintang ini?"

"Oh, kuda," kata gadis kecil itu. "Aku sedang mencoba untuk mendapatkan sebuah bintang dari langit. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."

"Mungkin aku bisa menolongmu," kata Si Kuda. "Kemarilah, naik ke punggungku dan aku akan membawamu menuju bintang-bintang itu."

Penuh rasa kegirangan Si Gadis Kecil naik ke punggung kuda. Kemudian Si Kuda berlari dan berlari sampai akhirnya tiba di sebuah samudera.

Nun jauh di langit Si Gadis Kecil melihat bintang-bintang gemerlapan. Ukurannya lebih besar daripada yang biasa ia lihat dari kamar tidurnya.

"Hanya sampai di sini aku bisa mengantarmu," kata Si Kuda. "Dari sini engkau harus mencari jalan sendiri."

Gadis kecil turun dari punggung kuda. Kemudian Si Kuda pergi meninggalkan Gadis Kecil sendirian.

Ketika sedang memandangi air di samudera yang luas membentang itu, Si Gadis Kecil melihat seekor ikan lumba-lumba yang kulitnya berkilauan tertimpa cahaya bintang.

"Halo, Gadis Kecil," sapa lumba-lumba itu. "Engkau tampak sangat sedih. Ada yang bisa aku bantu?"

"Oh, Lumba-lumba," jawab Gadis Kecil. "Aku sangat ingin memiliki sebuah bintang. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya."

"Rasanya aku bisa membantumu," kata Si Lumba-lumba. "Naiklah ke punggungku dan kita akan berangkat."

Gadis Kecil duduk di atas punggung lumba-lumba yang berenang menyeberangi samudera. Tak berapa lama kemudian Si Gadis Kecil melihat sebuah pelangi bersinar di atas air. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat dimana salah satu dari ujung pelangi tersebut menyentuh air dan tenggelam di dalamnya.

"Hanya sampai sini aku bisa mengantarkanmu," kata Si Lumba-lumba. "Sekarang kau harus memanjat pelangi itu. Bila berhasil mencapai puncaknya, Engkau akan bisa memetik sebuah bintang di langit. Bila sudah tiba di sana ambillah sebuah bintang dan pegang erat-erat."

Secara perlahan Si Gadis Kecil memanjat pelangi. Langit tampak lebih cerah dan semakin cerah ketika ia mencapai tempat yang lebih tinggi. Dan bintang-bintang pun menjadi semakin dekat.

Akhirnya Si Gadis Kecil berhasil mencapai puncak pelangi. Banyak sekali bintang yang bersinar berkilauan, tepat di depan matanya. Setiap bintang bersinar bagaikan perhiasan mahal. Si Gadis Kecil merasa sangat senang.

Si Gadis Kecil kemudian mengulurkan tangannya untuk memetik sebuah bintang. Tepat ketika tangannya menyentuh sebuah bintang, pelangi yang ia pijak mulai meleleh. Si Gadis Kecil jatuh dan terus jatuh melewati langit dan malam yang gelap.

Ia jatuh secara sangat cepat sehingga bahkan tidak punya waktu untuk merasa takut.

Sejenak kemudian Si Gadis Kecil tidak bisa melihat apapun kecuali hanya kegelapan. Kemudian ia mulai melihat secercah sinar matahari pagi. Ia melihat sekeliling dan merasa takjub mendapati dirinya berada di tempat tidurnya sendiri.

"Sialan," katanya. "Ternyata perjalananku yang luar biasa ke bintang-bintang itu hanyalah mimpi! Keinginanku sama sekali belum terwujud."

Kemudian Si Gadis Kecil melihat tangannya yang tergenggam rapat. Perlahan ia membuka tangannya dan melihat sejumput debu perak yang bersinar-sinar-- debu bintang! (*)


Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2003

Sentuhan Ajaib Raja Midas

Diterjemahkan oleh Atiek Kusmiadi berdasarkan Cerita Nathaniel Hawthorne. Judul asli: The Golden Touch


Pada jaman dahulu kala tinggallah seorang raja yang kaya raya. Raja itu bernama Raja Midas. Raja Midas mempunyai seorang anak perempuan bernama Marygold. Raja sangat menyayangi putri semata wayangnya ini. Namun demikian Raja Midas juga sangat memuja harta kekayaan, terutama emas. Seluruh kekayaan yang ia timbun setiap hari akan diperuntukkannya bagi putri Marygold.

Semakin hari Raja Midas menjadi semakin rakus dan serakah. Hari-hari ia habiskan di sebuah ruang bawah tanah tempat ia menyimpan hartanya. Setelah mengunci pintu ia akan mengumpulkan koin-koin emasnya dan membawanya ke bawah sebuah jendela yang ada di ruangan tersebut. Sinar matahari yang masuk melalui jendela itu akan menyinari koin-koin emas dan membuatnya bersinar-sinar. Raja Midas sangat senang melihat emas-emasnya yang berkilauan indah tertimpa cahaya matahari.

Suatu hari Raja Midas sedang berada di ruangan bawah tanah itu. Ketika ia sedang asyik memandangi emasnya yang berkilauan tiba-tiba muncullah sebuah bayangan di atas tumpukan emas itu. Lama kelamaan bayangan itu menjelma menjadi orang asing.

"Anda sangat kaya, Raja Midas," kata orang asing itu. "Tidak ada satupun tempat di bumi ini yang memiliki emas sebanyak yang kau punya."

"Aku telah bekerja keras," jawab Raja Midas. "Tapi aku masih menginginkan lebih banyak lagi."

"Jadi kau belum puas. Apa yang bisa memuaskanmu?" tanya orang asing itu.

Raja Midas berpikir sejenak. "Aku ingin apapun yang kusentuh dengan tanganku akan berubah menjadi emas!" ujar Raja Midas.

"Sentuhan Ajaib!" kata orang asing itu. "Itu ide yang hebat sekali. Tapi apakah kau benar-benar yakin itu akan membuatmu puas?"

"Tentu saja," kata Raja Midas.

"Kalau begitu baiklah," jawab orang asing itu. "Besok, ketika matahari terbit kau akan mendapatkan keinginanmu itu."

Keesokan harinya, ketika matahari mulai terbit Raja Midas terbangun. Ia begitu senang ketika melihat sprei tempat tidurnya telah berubah menjadi emas. Sentuhan ajaib itu benar-benar telah datang!

Raja Midas segera turun dari tempat tidur dan berlari kegirangan mengelilingi kamar. Semua benda di kamar itu disentuhnya dan segera saja benda-benda tersebut berubah menjadi emas.

Raja Midas turun ke lantai bawah menuju kebun mawar kebanggaannya. Ia sangat mengagumi mawar-mawar yang indah itu.

Raja Midas tahu bagaimana caranya membuat mawar-mawar tersebut menjadi lebih berharga daripada sebelumnya. Ia menghampiri setiap kuntum mawar dan menyentuhnya dengan tangannya sehingga mawar-mawar di taman itu berubah menjadi emas semua. Setelah itu ia masuk ke dalam istana.

Tak lama kemudian Raja Midas mendengar putrinya Marygold menangis. Raja merasa kesal karena selama ini Marygold adalah seorang putri yang ceria.

"Apa yang terjadi padamu hingga di pagi yang cerah ini menangis?" tanya Raja Midas.

Marygold memperlihatkan setangkai bunga mawar yang telah berubah menjadi emas.

"Indah sekali!" kata ayahnya. "Lantas mengapa mawar emas itu membuatmu menangis?"

"Mawar ini sama sekali tidak indah. Ini adalah bunga terjelek yang pernah tumbuh! Ketika selesai berpakaian aku berlari ke taman untuk memetik beberapa tangkai mawar yang akan kupersembahkan pada Ayah. Aku tahu Ayah sangat menyukai bunga mawar. Tapi semua mawar yang indah warna-warni dan berbau harum itu kini telah berubah menjadi kuning dan sama sekali tidak harum lagi! Apa yang sebetulnya terjadi?"

"Putri kecilku,janganlah menangis," kata Raja Midas yang merasa tidak enak untuk mengatakan bahwa sebenarnya dialah yang telah merubah mawar-mawar itu menjadi emas. "Bukankah mawar emas bisa bertahan hingga ratusan tahun dan jauh lebih berharga daripada mawar biasa yang hanya dapat bertahan selama beberapa hari saja?"

"Aku tidak mau mawar emas," kata Marygold sambil menangis. "Mawar seperti itu tidak harum baunya dan tangkainya sangat keras hingga melukai hidungku!"

Raja Midas sangat sedih melihat Marygold. Ia menghampiri putri semata wayangnya itu dan bermaksud menghiburnya. Tanpa berpikir panjang Raja Midas mencium Marygold.

"Sayangku, Marygold!" katanya.

Tapi Marygold tidak bisa menjawab.


"Indah sekali!" kata ayahnya. "Lantas mengapa mawar emas itu membuatmu menangis?"

"Mawar ini sama sekali tidak indah. Ini adalah bunga terjelek yang pernah tumbuh! Ketika selesai berpakaian aku berlari ke taman untuk memetik beberapa tangkai mawar yang akan kupersembahkan pada Ayah. Tapi semua mawar yang indah warna-warni dan berbau harum itu kini telah berubah menjadi kuning dan sama sekali tidak harum lagi! Apa yang sebetulnya terjadi?"

"Putri kecilku,janganlah menangis," kata Raja Midas yang merasa tidak enak untuk mengatakan bahwa sebenarnya dialah yang telah merubah mawar-mawar itu menjadi emas. "Bukankah mawar emas bisa bertahan hingga ratusan tahun dan jauh lebih berharga daripada mawar biasa yang hanya dapat bertahan selama beberapa hari saja?"

"Aku tidak mau mawar emas," kata Marygold sambil menangis. "Mawar seperti itu tidak harum baunya dan tangkainya sangat keras hingga melukai hidungku!"

Raja Midas sangat sedih melihat Marygold. Ia menghampiri putri semata wayangnya itu dan bermaksud menghiburnya. Tanpa berpikir panjang Raja Midas mencium Marygold.

"Sayangku, Marygold!" katanya.

Tapi Marygold tidak bisa menjawab.

Apa yang telah terjadi? Pada saat Raja Midas mencium kening Marygold, tiba-tiba putri kesayangan raja itu menjelma menjadi sebuah patung emas.

Selama ini Raja Midas selalu mengatakan bahwa putrinya Marygold sama berharganya dengan emas. Namun kini ia baru menyadari bahwa Marygold jauh lebih berharga daripada seluruh emas yang ada di muka bumi ini. Tapi kesadaran itu sudah terlambat.

Raja Midas tidak bisa berbuat apa-apa. Raja berpikir saat ini ia rela melepaskan seluruh hartanya bila itu bisa mengembalikan Marygold.

Tiba-tiba Raja Midas melihat seorang asing di pintu istana. Orang itu adalah yang tempo hari dilihatnya di ruang bawah tanah. Orang itu pula yang telah memberinya Sentuhan Ajaib.

Raja Midas berlutut di hadapan orang asing tersebut.

"Mengapa Anda terlihat sedih?" tanya orang asing itu kepada Raja Midas.

"Sekarang aku menyadari bahwa ternyata emas bukanlah segalanya," jawab Raja Midas. "Dan aku telah kehilangan jantung hatiku."

"Jadi menurut anda Raja Midas, mana yang paling berharga - anugerah Sentuhan Ajaib atau purimu Marigold?"

"Tentu saja anakku!" jawab Raja Midas.

"Anda sudah jauh lebih bijaksana daripada sebelumnya, Raja Midas," kata orang asing itu.

Kemudian orang asing itu menyuruh Raja Midas untuk pergi ke sungai yang ada di dalam taman istana dengan membawa sebuah jambangan bunga. Jambangan itu harus diisi air dari sungai tersebut.

"Setelah itu perciki patung Marygold dan benda-benda lain yang telah kau ubah menjadi emas dengan air itu," kata orang asing itu sebelum akhirnya menghilang.

Raja Midas segera melakukan pesan orang asing itu tadi. Ia cepat-cepat mengambil jambangan dan mengisinya dengan air sungai yang ada di dalam istana. Kemudian ia memerciki patung Marygold dengan air itu.

Setelah diperciki air sungai itu tiba-tiba Marygold berubah kembali menjadi seorang putri. Raja Midas lalu mengajak Marygold ke kebun mawar. Di sana ia memerciki seluruh bunga mawar yang ada. Mawar-mawar itupun kembali berwarna-warni dan harum seperti semula.

Sejak saat itu Raja Midas membenci semua emas, kecuali rambut Marygold yang berwarna kuning keemasan. Warna itu selalu mengingatkan Raja Midas pada Sentuhan Ajaib yang telah membuatnya sengsara. (*)


Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2003