Selasa, 07 Februari 2012

Mbah Urip

Wajah keriput Mbah Urip terlihat sangat terpukul. Matanya berkaca-kaca. Mbah Urip berusaha keras menahan agar genangan air bening di matanya itu tidak jatuh. Tapi agaknya itu sia-sia. Berita yang baru saja didengarnya terlalu menyodok hati renta miliknya. Sebutir air bening bergulir jatuh di sudut matanya yang dipenuhi kerut-kerut ketuaan.

"Maaf, Mbah. Saya tidak bermaksud membuat Mbah bersedih. Tapi begitulah kenyataannya," meskipun pelan suara Nanang telah mengejutkan Mbah Urip. Menyadarkannya dari lamunan singkat tentang anak semata wayangnya, Inah.

Hati kecilnya memberontak, berusaha memungkiri berita yang dibawa Nanang. Bagi Mbah Urip berita itu terlalu musykil. Inah melacurkan diri? Tidak mungkin! Aku kenal anakku. Inah tidak mungkin senekad itu! Nurani Mbah Urip menjerit. Pedih.

"Tidak mungkin, Nang. Lha wong waktu di sini Inah itu ngajinya rajin, sholatnya rajin, kok!" kata Mbah Urip berusaha mengelak.

"Mbah...Mbah, itu kan dulu! Namanya juga hidup di kota besar, kadang-kadang keadaan membuat kita terpaksa memakan dosa, Mbah!" kata Nanang kepada Mbah Urip.

"Ah, sudahlah Mbah. Yang penting saya sudah memberitahu Mbah Urip. Percaya syukur, nggak percaya juga tidak apa-apa. Saya permisi dulu ya Mbah?" Mbah Urip hanya menyahut pelan ketika Nanang mengucapkan salam.

Sepeninggal Nanang ruang tamu itu kembali sepi. Angin sore berhembus pelan melalui kisi-kisi jendela yang baru dicat ulang. Mbah Urip memandang sekeliling.

Rumah tua peninggalan suaminya memang kini sudah berganti tembok permanen. Alat-alat rumah tangga pun banyak yang sudah diganti. Termasuk sofa empuk yang kini sedang didudukinya.

Semua perubahan ini adalah karena uang Inah. Sudah empat tahun anaknya itu pergi mengadu nasib ke kota. Selama kepergiannya itu Inah memang belum pernah pulang kampung menjengukya. Tapi Inah rajin mengirim surat kepadanya, menceritakan tentang kehidupannya di kota.

Mbah Urip tidak bisa membaca. Nananglah yang selama ini rajin membacakan surat-surat Inah untuknya.

Dalam salah satu suratnya Inah bercerita kalau kini hidupnya enak. Ia bekerja sebagai pembantu pada sebuah keluarga kaya yang sangat baik. Gajinya pun besar.

Tidak heran kalau Inah rajin mengirim uang ke kampung. Inah juga menyuruhnya merenovasi rumah tua peninggalan suaminya yang hampir roboh. Tidak hanya itu, Inah pun rajin mengirimkan kain batik panjang yang bagus-bagus untuknya.

Sebagai orangtua, Mbah Urip menerima semua itu dengan rasa syukur. Namun kebahagiaannya bukan karena selalu dikirimi kain bagus dan dibuatkan rumah beton oleh anaknya. Bukan.

Kebahagiaannya lebih karena Inah, anaknya semata wayang, telah mampu hidup mandiri. Dan itu membuatnya tenang. Paling tidak, kalaupun ia mati ia tidak akan meninggalkan beban seorang anak yang harus dihidupi oleh sanak familinya yang lain. Ia jadi merasa siap kalau sewaktu-waktu Tuhan mengirimkan malaikat untuk menjemput ajalnya.

Tapi kini Mbah Urip seperti terlempar pada titik nol. Kenyataan bahwa anaknya memilih pekerjaan sebagai pemuas nafsu laki-laki telah mengharu biru perasaannya sebagai seorang ibu.

Mbah Urip merana.

*********


Matahari sepenggalah baru saja naik ketika tiba-tiba Mbah Urip dikejutkan oleh teriakan anak-anak kecil di luar rumah.

"Horee...dapet duit....dapet duit!" anak-anak itu meloncat-loncat gembira. "Mbak baiiiiikk, deh! Ayo, Mbak minta lagi dong!"

Mbah Urip mengintip dari jendela. Seorang perempuan muda dilihatnya sedang dikerubuti anak-anak yang berloncat-loncatan senang. Setiap anak memegang selembar uang kertas.

Tiba-tiba Mbah Urip merasa jantungnya berdetak lebih keras. Terlebih lagi ketika perempuan muda itu melangkah mendekati pintu rumahnya. Mbah Urip seperti mengenal perempuan itu. Tapi siapa dan dimana?

"Assalamualaikuuum," perempuan muda itu mengetuk pintu.

Ragu-ragu Mbah Urip mengulurkan tangannya menarik pegangan pintu. Pintu terbuka lebar. Perempuan muda itu kini berdiri tepat di depannya. Cantik.

Tiba-tiba perempuan itu menarik tangan Mbah Urip dan menciumnya.

"Apa kabar, Mak? Emak sehat kan?" tanya perempuan muda itu tanpa jeda. Mbah Urip tidak menjawab. Hanya tatapannya yang mengatakan bahwa ia sedang bingung.

Pikiran Mbah Urip belum mampu mencerna apa yang sedang terjadi ketika perempuan muda itu akhirnya memberitahu siapa dirinya.

"Masak Emak lupa sama anak sendiri, sih? Ini aku, Mak. Inah!" perempuan muda itu setengah berteriak karena senang. Sepanjang perjalanan tadi ia memang sudah membayangkan pertemuan dengan emaknya yang tercinta. Ia membayangkan emaknya akan segera memeluknya dan menumpahkan semua kerinduan.

Jemari Mbah Urip sekonyong-konyong menegang. Inah? Ini Inah? Tidak mungkin...Inah anakku tidak cantik seperti ini. Inah juga tidak mungkin berpakaian serba terbuka seperti ini. Inah anakku adalah orang yang lugu dan mengagungkan kesederhanaan. Sesuatu yang selama ini selalu kuajarkan padanya.

"Tidak!....Kamu bukan Inah. Kamu pelacur! Kamu pelacur! Pergi....Pergi!" Mbah Urip merasa hancur ketika menyadari omongan Nanang tempo hari ternyata benar. Inah yang lugu telah berubah sosok menjadi setan.

"Tapi...tapi....," Inah tak mampu berucap. Kejadian seperti ini sungguh-sungguh di luar dugaannya.

"Kumohon, pergilah....Aku tidak sanggup melihatmu. Aku tidak mau punya anak seorang pelacur, tidak mau.....Tidak mau...."

Air mata mengalir deras di pipi Mbah Urip.

"Tapi Mak....Inah...Inah terpaksa melakukannya. Inah melakukan semua itu untuk Emak. Inah tidak ingin Emak terus miskin dan menderita seumur hidup Emak. Inah ingin membahagiakan Emak....Hanya itu keinginan hidup Inah, Mak. Inah minta ampun!" Butir-butir kesedihan menetes deras di wajah mulus Inah. Dipeluknya erat-erat kaki Mbah Urip yang berdiri mematung di depannya. Inah akan bersujud kalau itu mampu membuka pintu ampunan emaknya tercinta.

"Dengar Inah, Emak lebih suka miskin daripada harus memakan kehormatan anak Emak sendiri! Untuk apa semua harta ini kalau kau membeli semua itu dengan dosa? Ambil kembali semua yang pernah kau berikan kepada Emak, lalu cepat pergi dari sini!" Mbah Urip tidak memperdulikan pelukan erat Inah di kakinya. Ia melangkah gontai menuju bangku panjang di teras. Di situ ia duduk sambil sesenggukan. Hati tuanya terluka.

Inah berdiri dan mendekati Mbah Urip. Ia bersimpuh di kaki orangtua yang telah melahirkannya itu.

"Inah minta ampun, Mak. Inah memang salah. Inah penuh dosa. Tak pantas Inah datang ke sini menemui Emak. Inah hanya memberi malu kepada Emak. Maafkan Inah, Mak. Tapi Emak harus tahu, bahwa Inah mencintai Emak lebih dari apapun di dunia ini."

Setelah mencium tangan Mbah Urip, Inah melangkah pergi.

Mbah Urip menatap kepergian anak kesayangannya itu dengan sejuta rasa yang tercampur baur. Namun yang paling terasa adalah perasaan luka yang dalam menganga.


*********


"Mbah! Mbah Urip!" Seseorang berteriak-teriak dari depan rumah.

Teko berisi air panas yang ada dalam genggaman Mbah Urip hampir jatuh karena terkejut mendengar teriakan tersebut.

Cepat-cepat Mbah Urip membuka pintu depan.

"Kamu toh, Nang. Bikin kaget saja! Ada apa?" tanya Mbah Urip.

Sebagai jawabannya Nanang mengajak Mbah Urip masuk dan menyuruhnya duduk. Nanang mengeluarkan selembar koran dari balik bajunya. Hati-hati ia membuka koran tersebut dan menunjukkannya kepada Mbah Urip.

"Inah, Mbah....," kalimat Nanang yang tak selesai mengundang kecurigaan Mbah Urip. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh, toh Mbah Urip juga sudah tidak peduli apapun yang terjadi dengan anaknya itu. Dengan sikap apatis Mbah Urip menunggu Nanang menyelesaikan kalimatnya.

"Inah.....mati, Mbah." Tak sanggup rasanya Nanang mengucapkan kalimat itu.

"Apa? Yang betul kamu kalau ngomong, Nang!" Mbah Urip tidak senang Nanang bercanda soal kematian.

"Betul, Mbah. Nih lihat gambarnya di koran. Inah mati bunuh diri semalam di kamar kosnya," pelan-pelan Nanang menyodorkan gambar Inah yang terpampang di koran.

Matanya nanar melihat gambar anaknya di halaman pertama koran tersebut. Terpampang jelas di situ Inah mati gantung diri. Bajunya yang berwarna putih panjang menjuntai-juntai ke lantai.

"Baju itu....baju itu...," Mbah Urip mendesis. Matanya basah.

Mbah Urip ingat dialah yang dulu menjahitkan baju itu untuk Inah. Dulu baju itu menjadi kesayangan Inah. Kemanapun ia pergi selalu ia mengenakan baju buatan Mbah Urip itu dengan penuh rasa bangga. Dengan baju itu pula Inah pamitan kepada Mbah Urip hendak pergi mengadu nasib ke kota. Dulu... suatu hari di bulan Januari empat tahun lalu..... (*)


Atiek Kusmiadi

Pangkalpinang, 2004










Tidak ada komentar:

Posting Komentar