"Apa? Tinggal di Belinyu?" teriakku kepada Iwan.
"Ya. Tapi itu kalau kamu mau. Kalaupun tidak mau ya udah, berarti biar aku saja yang tiap hari bolak-balik," kata Iwan mengalah. Seperti biasanya pemuda itu selalu mengalah kepadaku. Tapi justru sikap mengalahnya itulah yang membuatku selalu tidak sampai hati untuk mengecewakan apalagi melukai hatinya. Aku mencintainya. Dan aku percaya sekali bahwa dia juga mencintaiku. Aku bisa merasakannya. Rasa percaya itu pula yang membuatku menerima lamarannya dan bersedia menikah dengannya.
Karena selama ini Iwan bekerja di Belinyu sedangkan kami tinggal di Pangkalpinang, maka setelah menikah Iwan mengajakku untuk tinggal di Belinyu. Tidak sampai hati untuk membiarkannya setiap hari bolak-balik menempuh perjalanan yang cukup jauh itu, apalagi hanya dengan mengendarai sepeda motor, akhirnya aku bersedia untuk pindah ke Belinyu.
Di kota ini kami mengontrak sebuah rumah. Sebetulnya menurutku ukuran rumah itu terlalu besar untuk kami tinggali berdua saja. Tapi karena sulit mencari rumah kontrakan akhirnya aku setuju saja untuk mengontrak rumah itu.
Dari arsitekturnya, sepertinya rumah itu tergolong rumah tua. Tinggi dan kokoh dengan tiga kamar, dua dapur, satu gudang dan halaman depan belakang yang sangat luas. Terkadang aku kewalahan membersihkan rumah itu.
Dari tiga kamar yang ada, kami sepakat untuk meninggali kamar depan dekat ruang tamu. Kamar yang ada di ruang tengah kami jadikan kamar tamu apabila ada sanak keluarga yang bermalam. Sedangkan kamar satu lagi yang ukurannya paling kecil kami biarkan kosong dan hanya diisi dengan perabot seperti tempat tidur dan kasur milik si empunya rumah yang tidak terpakai lagi.
Hari pertama tinggal di rumah itu aku merasa ada yang aneh. Entah apa yang aneh, aku sendiri tidak tahu. Yang jelas aku merasa tidak nyaman tinggal di sana. Aku merasa seperti ada yang selalu mengawasiku, setiap waktu. Ketika kuungkapkan ini kepada Iwan yang kini telah menjadi suamiku, ia hanya mengatakan bahwa itu hanyalah karena aku belum terbiasa tinggal di rumah itu.
"Nanti juga hilang. Sabar aja dulu ya," katanya enteng.
Satu-satunya yang dapat mengurangi kegelisahanku adalah kebiasaan Iwan yang rajin melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an setiap kali usai sholat Maghrib. Walaupun aku tidak mengerti arti setiap ayat tapi dengan mendengarkannya saja aku merasa tenang. Seakan tak ada satu kekuatan gaib apapun yang bisa mengganggu kami.
Pagi pertama ketika kami baru saja pindah ke rumah ini Iwan langsung mengumandangkan azan di setiap sudut rumah.
"Untuk proteksi," katanya. Entah apa maksudnya. Dan entah pula belajar darimana dia pemahaman seperti itu. Aku tidak tahu.
Seminggu tinggal di rumah itu, tidak ada kejadian yang aneh-aneh. Syukurlah. Di hari Minggu kami bermaksud membersihkan kamar belakang karena seorang keluarga dari Pangkalpinang rencananya akan datang untuk menginap selama beberapa hari.
Aku siap dengan sapu dan Iwan siap dengan seember cat dinding. Ia memang bermaksud mencat dinding kamar itu yang sudah terlihat kusam dan menyebabkan kesan seram.
"Mas, coba lihat ini," kataku sambil menunjuk ke sebuah tulisan di dinding kamar.
"Apa?" katanya seraya mendekat. Setelah cukup dekat kami sama-sama memperhatikan tulisan yang ada di dinding kamar. Tulisan itu tampaknya dibuat dengan menggunakan benda tajam dengan cara mengguratkannya di dinding.
"Gunting ini yang menghabisi nyawaku!" Demikian bunyi tulisan itu. Lalu di sebelahnya tergambar garis-garis vertikal seperti yang biasa dilakukan orang di dalam penjara untuk menghitung sudah berapa hari mereka ada di dalam tahanan.
Aku mengkerut mencengkeram lengan Iwan. Takut. Tapi Iwan tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum dan segera meneruskan pekerjaannya. Aku segera keluar dari kamar itu dan tidak kembali lagi sampai Iwan menyelesaikan pekerjaannya.
Kami tidak bercerita apa-apa kepada Tito, saudara kami, yang besoknya menempati kamar itu. Khawatir kalau malah akan membuatnya takut. Tapi ketika bangun keesokan harinya Tito mengatakan tidak mau lagi tidur di kamar itu.
"Kenapa?" tanya kami serempak.
"Tidak apa-apa, pokoknya tidak mau aja!" elaknya.
Setelah kami desak akhirnya ia menceritakan kalau semalam ia melihat seseorang di kamar itu. Seorang perempuan yang tidak putus-putus memandanginya terus.
"Aku takut. Tapi aku tidak bisa teriak. Tidak bisa. Entah kenapa," katanya tersendat-sendat.
Akhirnya malam-malam berikutnya Tito tidur di kursi ruang tamu. Dan sejak saat itu keadaan berjalan tenang seperti biasa. Hingga di suatu sore.
"Mas! Lihat, nih Mas!" aku berteriak-teriak memanggil suamiku.
"Ada apa?"
"Sini! Lihat, nih!" kataku sambil menunjuk lantai ruang tengah. Di lantai itu terlihat tetesan-tetesan warna merah. Aku tidak bisa memastikan apa itu, dan aku tidak tahu darimana asalnya.
Sambil membungkuk aku dan Mas Iwan memperhatikan tetesan merah itu secara lebih dekat. Mas Iwan mengulurkan tangannya dan mencolek tetesan warna merah itu lalu menciumnya.
"Tadi pagi beli ikan, ya?" tanya Iwan.
"Nggak! Kan Mas tahu sendiri hari ini kita tidak makan ikan," jawabku.
Mas Iwan diam. Kelihatannya berpikir keras. Cukup lama ia diam.
"Aku yakin itu darah. Baunya amis dan masih hangat. Tapi kalau 'Nda nggak masak ikan dan rasanya sepanjang hari ini tidak ada orang yang terluka di rumah ini, maka aku tidak dapat menjelaskan darimana asal darah ini," katanya tenang dan perlahan.
Demi Tuhan, hari ini juga aku mau balik ke Pangkalpinang! (*)
Atiek Kusmiadi
Pangkalpinang, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar